Frans Kaisiepo, Biak - BIK
Bandara / Bandar Udara Internasional di Indonesia
Luas namun sepi, strategis tapi tak dimanfaatkan. Demikianlah nasib Bandar Udara (Bandara) Frans Kaisiepo (BIK) di Biak. Padahal banyak hal yang bisa dikerjakan dengan dukungan bandara ini, seperti kawasan perdagangan berikat dan peluncuran roket luar angkasa.

Bandara Frans Kaisiepo dinamai sesuai dengan nama Frans Kaisiepo, pahlawan nasional kelahiran Wardo, Biak Barat. Pernah jadi Gubernur Papua pada periode 1964-1973, Frans Kaisiepo merupakan wakil Papua pada Konferensi Malino tahun 1946 mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) mewakili Papua. Frans Kaisiepo pulalah yang pertama kali mengusulkan pengunaan nama “Irian” sebagai pengganti “Papua”, meski belakangan dikembalikan ke nama semula.
Sejarah bandara ini dimulai sejak tahun 1943, waktu Perang Dunia (PD) II. Tahun 1943, Jepang membangun 3 lapangan terbang. Lapangan terbang terbesar dibangun di Pantai Ambroben, sementara 2 lainnya dibangun di Borokoe dan Sorido. Sekutu masuk dan mengalahkan Jepang tahun 1944. Sejak itu, lapangan terbang di Ambroben ini ditempati AU Australia.
Setelah perang berakhir, tahun 1947 Belanda masuk dan menempati bandara ini. Sejak itu pula bandara di tepi Pantai Ambroben ini dinamai Bandara Mokmer. Pembangunan dilakukan oleh Belanda, pada tahun-tahun setelah itu, termasuk membangun hotel yang hanya berjarak 2 menit jalan kaki dari lapangan terbang.
Hotel tersebut didirikan oleh maskapai KLM milik Belanda dan dinamai RIF Hotel. Peletakan batu pertama dilakukan tahun 1952, sebagai maksud menjadikan Biak tersebut sebagai bagian dari rute penerbangan internasional keliling dunia KLM. Belanda lantas melanjutkan pembangunan Bandara Mokmer, sehingga tahun 1959 sudah siap didarati pesawat DC-8. Pada tahun 1960, KLM sudah menerbangi Biak dengan rute Biak-Tokyo-Amsterdam.

Sayang tak berusia lama, lantaran tahun 1962 penguasaan bandara Mokmer diserahkan ke badan PBB UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration) yang mengurus Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Setelah penyerahan kedaulatan Irian Barat ke Indonesia pada 1 Mei 1953, UNTEA baru menyerahkan penguasaan bandara Mokmer ke tangan Indonesia tahun 1969.
Dalam pengelolaan Indonesia, nama Bandara Mokmer diubah menjadi Bandara Frans Kaisiepo tahun 1984. Posisi strategis bandara ini yang dekat Samudra Pasifik dan berlokasi di ekuator membuat Garuda Indonesia memasukkan Biak dalam penerbangan internasional ke Amerika Serikat (AS). Pada periode 1996-1998 Garuda menerbangi rute Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles dengan pesawat berbadan lebar MD-11. Bandara ini sebenarnya sanggup didarati pesawat sebesar Boeing 747 seri 400.
Sayang rute internasional melintasi Samudra Pasifik tersebut terhenti karena hantaman krisis ekonomi. Sejak itu pula status bandara internasional terhenti, hingga sekarang. Padahal bandara yang dibangun di atas litologi batugamping (limestones) alias batu karang ini amat kokoh dan bersifat keras.
Letak geografis di garis ekuator dan di mulut Samudra Pasifik menjadikan Bandara Frans Kaisiepo tetap penting. Sempat terpetik kabar pembangunan kawasan perdagangan berikat di Biak, lantaran punya dukungan bandara yang berkualitas internasional dan pelabuhan laut di antara wilayah kepulauan Nusantara dan Samudra Pasifik.
Kondisi bandara saat ini tergolong menarik. Pagar bandara banyak yang bolong, dan penduduk sipil bisa dengan bebas beraktivitas di dalam wilayah bandara. Bahkan nelayan bisa menjemur ikan dan anak-anak bisa bermain di atas landasan pacu!

Sebelum pesawat mendarat, pasti akan ada sirene yang mengaum keras. Itu pertanda, bahwa aktivitas di wilayah bandara harus dihentikan sementara. Benar-benar sementara, lantaran setelah pesawat lepas landas maka aktivitas di atas landasan pacu pun kembali seperti sedia kala. Suara sirene ini bisa terdengar hingga 4-5 kilometer, di kota Biak yang luasnya tak seberapa itu.
Kabar termutakhir berkaitan dengan Biak dan Bandara Frans Kaisiepo adalah persiapan fasilitas peluncuran roket dan satelit luar angkasa bekerjasama dengan Rusia. Konon, biaya peluncuran di Biak hanya sekitar sepersepuluh biaya peluncuran dari Cape Caneveral, Florida, AS. Secara ilmiah, teknis dan geografis sepintas tak ada masalah. Tapi secara sosiologis, masyarakat setempat “minta bagian” dari rencana canggih tersebut. Secara politis dan ekonomis, belum banyak pembahasan yang beredar padahal amat penting untuk ditelaah.
Hanya sepelemparan batu dari Bandara Frans Kaisiepo, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sudah membangun stasiun berikut fasilitas-fasilitas pendukung. Tak hanya fasilitas peluncuran roket dan satelit luar angkasa, stasiun LAPAN di Biak konon juga dilengkapi fasilitas penginderaan jauh (remote sensing).
Kiranya apapun yang dilakukan di tanah Biak ini memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Biak dan generasi-generasi penerus.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !